SIRAH NABI & PARA SAHABAT

PRA-ISLAM

Jazirah Arab diantara dua imperium besar : Romawi dan Persia, akan tetapi tidak pernah terjajah karena faktor alam.

Ketika itu, Syam dan Mesir merupakan bagian dari Romawi sedangkan Iraq merupakan bagian dari Persia. Karena diantara kedua imperium tersebut selalu terjadi peperangan maka rute perdagangan dari India dan Teluk Persia menuju Laut Tengah via Iraq menjadi rusak. Para pedagang lalu mengambil jalur perdagangan dari Yaman, lewat Makkah, menuju ke Gaza, Damaskus, dan Laut Tengah. Makkah juga kondusif sebagai pusat perdagangan karena dianggap sebagai Tanah Haram yang harus steril dari pertumpahan darah.

Sebagian besar penduduk Makkah adalah penyembah banyak tuhan (musyrik), dan mereka memiliki adat istiadat yang jauh dari keluhuran nilai-nilai moral (penindasan masyarakat lemah, perjudian, pelacuran, pembunuhan, kecurangan, dan sebagainya), kecuali bahwa mereka masih menjunjung tinggi beberapa adat istiadat seperti menghormati tamu dan fanatisme kesukuan.

Muhammad dilahirkan dari keturunan Isma’il, pada Tahun Gajah (571 M) dimana Abrahah melakukan penyerangan terhadap Ka’bah. Ayah beliau wafat ketika beliau masih dalam kandungan.

Diasuh oleh Halimah As-Sa’diyah.

Ibunda beliau wafat ketika beliau berusia 6 tahun.

Bersama sang kakek (Abdul Muthallib) sampai usia 8 tahun.

Bersama sang paman (Abu Thalib).

Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun.

Memiliki kebiasaan berkhalwat.

BA’DAL BI’TSAH (SESUDAH DIUTUS SEBAGAI RASUL)

Menerima wahyu pertama pada usia 40 tahun.

Berdakwah secara sembunyi-sembunyi sampai tahun ke-3 kenabian.

Berdakwah secara terang-terangan kepada penduduk Makkah sampai tahun ke-10 kenabian :

  1. Beberapa sahabat Nabi hijrah ke Habasyah pada tahun ke-5 kenabian.
  2. Hamzah dan Umar masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian.
  3. Boikot tiga tahun terhadap Bani Hasyim dan Banil Muthallib.
  4. Tahun Duka Cita (wafatnya Abu Thalib dan Khadijah) pada tahun ke-10 kenabian.
  5. Isra’ dan Mi’raj

Berdakwah secara terang-terangan kepada penduduk di luar Makkah sampai tahun ke-13 kenabian :

  1. Berdakwah ke Thaif
  2. Bai’ah Aqabah I (Bai’atun Nisa’)
  3. Bai’ah Aqabah II (Bai’atul Harb)

Hijrah ke Madinah

  1. Membangun masjid, mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar, membangun negara atas dasar Piagam Madinah.
  2. Perang Badar Kubra (Ramadhan 2 H) – 313 orang vs 1300 orang.
  3. Perang Bani Qainuqa’ (Syawwal 2 H)
  4. Perang Uhud (Syawwal 3 H) – 1000 orang vs 3000 orang.
  5. Perang Bani Nadhir (Rabi’ul Awwal 4 H)
  6. Perang Ahzab (Khandaq) (Syawwal 5 H) – 3000 orang vs 4000 + 6000 orang
  7. Perang Bani Quraidhah (Dzul Qa’dah 5 H)
  8. Perang Hudaibiyyah (Dzul Qa’dah 6 H)
  9. Mengirim surat dakwah kepada para raja (Raja Najasyi di Habasyah, Muqauqis di Mesir, Kisra di Persia, Kaisar Romawi, Penguasa Bahrain, Penguasa Yamamah, Penguasa Damaskus, Penguasa Oman)
  10. Perang Khaibar (Muharram 7 H) – 1400 orang vs Yahudi dalam 8 benteng
  11. Perang Mu’tah (Jumadil Ula 8 H) – 3000 orang vs 200,000 orang.
  12. Fathu Makkah (Ramadhan 8 H) – 10,000 orang
  13. Perang Hunain (Hawazin) (Syawwal 8 H) – 10,000+2,000 orang
  14. Perang Tabuk (Rajab 9 H) – 30,000 orang
  15. Haji Wada’ (Dzul Hijjah 10 H)
  16. Wafatnya Rasulullah (Senin, 12 Rabi’ul Awwal 11 H)

Setidak-tidaknya, tercatat 30 ghazwah (belum termasuk sariyyah) sesudah hijrah. Ini berarti dalam setiap tahun rata-rata terdapat 3 ghazwah (empat bulan sekali).

KHILAFAH RASYIDAH (30 tahun, dari 11-41 H)

Kekhalifahan Abu Bakr Ash-Shiddiq (11-12 H / 632-633 M)

  1. Membasmi nabi-nabi palsu
  2. Perang Riddah (memerangi orang-orang yang murtad)
  3. Merintis pembebasan Syam dan Iraq
  4. Mengumpulkan Al-Qur’an

Kekhalifahan Umar ibnul Khaththab Al-Faruq (13-23 H / 634-644 M)

  1. Melakukan pembebasan seluruh Jazirah Arab, Syam (Suriah, Lebanon, Yordania, Palestina), Mesir, Libia, Iraq, Persia (Iran), Armenia, Azerbaijan dan Tabaristan.
  2. Melakukan pembaruan dalam administrasi negara, seperti pendirian Baitul Maal dan pembentukan angkatan bersenjata yang digaji.

Kekhalifahan Utsman ibn ‘Affan (23-35 H / 644-656 M)

  1. Membebaskan Pulau Siprus, merintis pembebasan Afrika Utara di sebelah barat Mesir, melakukan perang laut yang pertama melawan Romawi.
  2. Membukukan Al-Qur’an.

Kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib (35-40 H / 656-661 M)

  1. Mempertahankan pembebasan dan fokus urusan dalam negeri

Kekhalifahan Al-Hasan ibn Ali (41 H / 662 M)

ADAT DALAM ISLAM

Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (=adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.

Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).

Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu.

Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.

Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.

Sebagai sebuah contoh, apabila Al-Qur’an menyatakan “wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (=Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).

Karakter hukum Islam yang akomodatif terhadap adat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama universal (untuk seluruh dunia). “Wajah” Islam pada berbagai masyarakat dunia tidaklah harus sama (monolitik). Namun, keberagaman tersebut tetaplah dilingkupi oleh wihdat al-manhaj (kesatuan manhaj) yaitu al-manhaj al-Nabawiy al-Muhammadiy.

Berangkat dari kesadaran “Bhinneka Tunggal Ika” inilah, Islam tidaklah harus disamakan dengan Arab. Islam merupakan sebuah manhaj yang bersifat universal, yang tidak bisa dibatasi oleh ke-Arab-an semata (Namun perlu diingat bahwa Arab [terutama bahasa Arab] dalam beberapa hal memang mempunyai posisi strategis dalam Islam).

Namun, harus disadari pula bahwa Islam diturunkan kepada Muhammad saw, seorang Arab, ditengah-tengah bangsa Arab. Implikasinya, Nabi tidak akan bisa lepas dari konteks/lingkungan Arab. Hal ini nantinya juga akan berpengaruh pada pewahyuan, baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah (sebagaimana dikatakan oleh para ushuliyyun dan mutakallimun bahwa perkataan [yang bukan Al-Qur’an] dan perbuatan Nabi merupakan “wahyu” karena Nabi senantiasa mendapat penjagaan dan ilham dari Allah).

Sebagai contoh, Al-Qur’an mau tidak mau mesti diturunkan dalam bahasa Arab agar bisa dipahami oleh komunitas dimana Al-Qur’an diturunkan. Demikian juga perkataan Nabi, mesti dinyatakan dalam bahasa Arab. Demikian pula penyebutan nama-nama benda dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidaklah akan keluar dari perbendaharaan yang bisa dipahami oleh masyarakat Arab saat itu. Kalaupun ada istilah yang tidak dimengerti, maka para sahabat mesti langsung menanyakannya kepada Nabi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap bentuk-bentuk tasyri’ yang melibatkan nama-nama benda, haruslah dilakukan secara esensial, lepas dari kungkungan bahasa, tempat, dan zaman. Sebuah contoh, tatkala Nabi memberitakan bahwa habbat al-sauda’ (jintan hitam) merupakan suatu obat yang mujarab bagi penyakit tertentu, maka itu tidak berarti bahwa tidak ada obat lain yang juga bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Adalah sangat mungkin akan ada berpuluh-puluh obat yang bisa berfungsi seperti habbat al-sauda’. Esensi dari berita Nabi tentang habbat al-sauda’ adalah zat yang dikandung oleh habbat al-sauda’, yang bisa menyembuhkan penyakit tertentu, dan zat tersebut bisa juga terdapat pada benda lain. Atau barangkali esensinya lebih luas dari itu, yakni perintah Nabi agar umatnya giat melakukan riset di bidang farmasi untuk menemukan berbagai benda di alam ini, yang berkhasiat untuk mengobati penyakit. Namun pola pemahaman esensial ini tidak boleh sampai kepada interpretasi bahwa, misalnya, habbat al-sauda’ tidak lagi efektif untuk obat, karena Nabi sudah jelas-jelas mengatakan efektivitasnya. Jadi, interpretasi boleh meluas (berangkat dari teks) namun tidak boleh membatalkan teks itu sendiri (karena justeru teks itulah titik tolak interpretasi).

Demikian pula tradisi (sunnah) Nabi secara umum, haruslah dipahami secara esensial. Hal ini tidak lain karena Islam merupakan agama universal dan berlaku selamanya. Dengan pemahaman esensial, syariat akan dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, sampai ke relung-relungnya yang terkecil sekalipun. Pemahaman esensial juga akan menjadi “mimpi buruk (nightmare)” bagi orang-orang yang hendak melakukan hilat (intrik, manipulasi) terhadap syariat, dengan bertameng pada teks.

Adaptasi syariat terhadap adat juga bisa diamati pada materi wahyu. Imam Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menerangkan bahwa akibat ke-ummi-an bangsa Arab maka wahyu (yang berarti juga syariat) pun bersifat ummi. Maksudnya, wahyu turun dengan tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat berpikir bangsa Arab saat itu. Wahyu tidak dituntut untuk dipahami secara njelimet melebihi kemampuan berpikir bangsa Arab saat itu. Meskipun begitu, justeru generasi saat itulah yang merupakan generasi terbaik dalam pemahamannya terhadap wahyu.